Djurnalis.com -– Sidang Praperadilan dengan pemohon Sjahril Hamid tersangka kasus perkara pemalsuan dokumen kembali digelar Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bandarlampung, pada Rabu (29/05/24).
Dalam persidangan lanjutan, pemohon menghadirkan satu saksi ahli DR. Rinaldy Amrullah, SH., MH dari Fakultas Hukum Universitas Lampung sebagai saksi ahli dalam persidangan praperadilan yang diajukan untuk melawan Polda Lampung.
Menurut kuasa hukum Sjahril Hamid, Usman Heri Purwono mengatakan adanya dugaan pembiaran dari penyidik atas laporan kliennya yang melaporkan terlapor (M), anak dari Suhari Hamid.
Lebih lanjut, pihak pemohon pun menduga adanya pelanggaran hukum dan ketidakhadiran saksi mantan lurah Nyunyai yang berangkutan dalam persidangan sebagai saksi.
“Yang jadi permasalahan adalah ada aparatur negara yang harus wajib hadir memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dalam rangka menciptakan rasa keadilan, tidak dilakukan. ini yang kita sesalkan, yaitu mantan Lurah Nyunyai,” ungkap Usman HP, yang merupakan mantan Kabid Propam Polda lampung.
Dengan pengajuan praperadilan ini, pihak pemohon berharap mendapatkan keadilan substansif dalam menguji keabsahan proses formil supaya dijalankan Polda Lampung.
“Bahkan kalau kita lihat dari bukti formil yang ada, ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan mantan lurah tersebut,” tambahnya.
Didalam persidangan, saksi ahli Dr. Rinaldy Amrullah, SH., MH menyampaikan terkait pertanyaan yang diajukan oleh pemohon tentang penetapan tersangka dan alat bukti seyogyanya harus mengikuti sesuai panduan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Sesuai panduan MK minimal dua alat bukti secara kualitas harus mengarah kepada peristiwa pidana, tidak bisa jika tidak berkaitan, karena berawal dari laporan maka proses penyidikan adalah tindak pidana atau peristiwa sebagai mana yang diawali oleh laporan tersebut. Itu harus jelas semua kepada tersangka atau yang akhirnya menjadi tersangka,” terang Saksi Ahli dalam persidangan praperadilan.
Lalu, mengenai tidak terdapat nya pentitum secara tindakan penegak hukum tersebut dianggap tidak memenuhi secara hukum acara.
“Sebagaimana yang sudah sampaikan dan ternyata tidak dilakukan secara KUHAP maka penegakan terhadap hukum acara itu tidak memenuhi secara hukum acara, maka tindakan itu harus dinyatakan tidak sah,” jelasnya.
Kemudian, terkait meninggal dunia nya pelapor sebelum Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikaitkan dengan alat bukti penetapan tersangka dimana keterangan pelapor menjadi kunci pengembangan saksi lain, akan tetapi didalam bukti BAP saksi pelapor tidak ada.
Saksi ahli mengatakan, dasar pengacara hukum mengkordinir agar kepentingan negara negara tidak dilangkahi, jika ternyata aparatur pemerintah dalam masyarakat tersebut lalai, ceroboh atau tidak melakukan hukum secara transparansi, adil sebagaimana digariskan, maka pada proses persidangan pemeriksaan pokok tidak dikabulkan apa yang menjadi permohonan produk hukum penuntut umum nanti.
Lalu, pada saksi testimonium de auditu dalam keterangan saksi yang mana kata nya ada dokumen palsu yang mengarah kepada pembuktian saksi lainnya, dimana kuasa hukum tidak melihat dalam konteks daftar barang bukti yang diberikan oleh pemohon.
Saksi Ahli menegaskan untuk itu melakukan proses secara hati-hati. Di praperadilan hakim boleh menguji, memutuskan yang jika bahwa perbuatan hukum sewenang-wenang, melanggar hukum dengan tujuan nantinya akan merugikan negara.
Selain itu, dalam tindakan penyidik dalam perkara A quo hakim yang akan memutuskan proses penyitaan itu dibenarkan.
Namun, terhadap bukti-bukti benda yang dianggap penting dalam penyelidikan maka penyidik wajib melakukan proses penyitaan karena dalam hal kepentingan yang mungkin nanti nya untuk melindungi bukti di persidangan agar tidak berubah bentuk, berpindah tangan dan sebagainya.
“Kenapa perlu karena ada sesuatu yang dapat dijelaskan melalui bukti-bukti tersebut kenapa disita karena bukti-bukti nya suatu benda, untuk itu maka penyitaan pun wajib memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana dalam hal penetapan tersangka,” ujarnya.
“Penyitaan alat bukti harus jelas, benar dan tepat artinya apabila orang yang memiliki benda tersebut dan kemudian tidak merasa berkepentingan, maka di praperadilan ini lah nanti akan di uji apakah kemudian jika penyidik memiliki benda tersebut tanpa baik persetujuan apalagi sepengetahuan yang memiliki tentunya itu melanggar terhadap proses penyitaan ,” pungkasnya. (*)