KriminalNewsTrending

Keterangan Ahli, Mematahkan Alat Bukti Dan Keterangan Saksi Yang Diajukan JPU

155
×

Keterangan Ahli, Mematahkan Alat Bukti Dan Keterangan Saksi Yang Diajukan JPU

Sebarkan artikel ini
TANGGAMUS | Penggunaan kata saksi ahli sudah menjadi kebiasaan di dalam praktik peradilan. Perlu diketahui bahwa penyebutan saksi ahli akan lebih tepat penyebutannya hanya ahli tanpa menggunakan kata “saksi”. Hal ini dikarenakan berdasarkan Pasal 154 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) maupun Pasal 215-229 Reglement of de Rechtsvordering (Rv) tidak menyebutkan saksi ahli di dalam pengaturannya melainkan hanya kata ahli. Selain itu, penyebutan saksi ahli dianggap rancu karena tidak terdapat satu pasal pun yang menyebutkan saksi ahli di dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), salah satunya dalam Pasal 132 Ayat (1) yang menyebutkan “Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.
Keterangan ahli yang dimaksud adalah dari seorang saksi ahli yang dianggap menguasai suatu bidang objek yang diperkarakan perkara dalam sidang.
Saksi Ahli adalah Saksi yang menguasai keahlian tertentu menurut pasal 56 KUHAP. Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Definisi Saksi Ahli/Keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP  : Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana salah satunya adalah keterangan ahli. Lebih lanjut Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Pengadilan Negeri Kota Agung, Kabupaten Tanggamus, kembali menggelar sidang kasus Pembunuhan terhadap Dede Saputra yang terjadi pada bulan Juli tahun 2021, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi yang meringankan dan mendengarkan keterangan saksi Ahli Hukum Pidana, Kamis (19/5/2022).
Sidang yang dipimpin Hakim Ketua, Ari Qurniawan, S.H., M.H., dan 2 orang  Hakim anggota masing-masing Zakky Ikhsan Samad, S.H., dan Murdian S.H., sidang dimulai pukul 13.00 WIB, dan selesai pada pukul, 20.15 WIB.
Adapun agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi yang meringankan kedua terdakwa, dan mendengarkan keterangan saksi ahli yang di hadirkan oleh tim penasehat hukum dari kantor pengacara Wahyu Widiyatmiko & Partner.
Adapun para saksi yang meringankan, yang di hadirkan oleh tim penasehat hukum sebanyak 5 orang, masing-masing 1. Nazrul Huda, 2. Ikhsan Eksandi, 3. Anis Kafitri, 4. S Pratama Wibawa Putra, 5. Aldi Yanto, 6. Agus Andi Wijaya, dan 1 orang  Ahli Hukum Pidana yakni DR. Eddy Rifai, S.H. M.H., Dosen Magister Ilmu Hukum Pidana, Universitas Lampung (Unila) yang akan di dengarkan pendapatnya.
Dan Tim Penasehat Hukum kedua terdakwa adalah Wahyu Widiyatmiko, S.H., Endy Mardeny S.H., M.H., dan Akhmad Hendra S.H. Sementara JPU dari Kejaksaan Negeri Kota Agung adalah Astrid Nurul Pratiwi, S.H., M.H., dan Dinda S.H., dari Kejaksaan Negeri Kota Agung.
Usai sidang,  Ahli hukum pidana DR. Eddy Rifai SH. MH., menjelaskan kepada awak media,  bahwa dalam KUHAP tidak mengatur alat bukti Elektronik.
“KUHAP tidak mengatur alat bukti Elektronik, sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat bukti tindak pidana Konvensional seperti KUHP. alat bukti Elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti kejahatan white-collar, dalam hal diatur dalam undang-undang tersebut seperti, UU ITE, UU Narkotika, UU Terorisme, UU TPPU, UU Tipikor, dan lain-lain” Jelas Eddy.
Sedangkan terdakwa Syahrial Aswad menurut Eddy Rifai, “Dijadikannya Syahrial Aswad itu sebagai tersangka adalah berdasarkan CCTV, sedangkan CCTV itu sendiri bukan CCTV asli, tapi rekaman atas CCTV. Sedangkan didalam KUHAP alat bukti elektronik itu tidak ada, yang ada itu hanya saksi, surat, ahli, petunjuk dan keterangan tersangka.” Ujar Eddy.
Lebih lanjut Eddy Rifai menjelaskan, “Kalaupun CCTV itu tetap akan dijadikan alat bukti, dalam UU ITE telah diatur bahwa harus ada syarat formil maupun materil, syarat formilnya adalah dia harus dijamin keontetikannya, kelengkapannya, dan ketersediaannya, dan harus didasarkan dari ahli Forensik, baru dia bisa dijadikan alat bukti elektronik” kata Eddy.
Eddy Rifai juga menambahkan, bahwa rekaman CCTV itu tidak Syah untuk dijadikan alat bukti,  jika mengacu pada KUHAP.
“Kalau ketentuan KUHAP alat bukti CCTV itu tidak Syah, tapi apabila hakim akan menjadikan itu petunjuk, bisa, tapi petunjuknya ada pada Hakim, bukan pada penyidik, kan 188 ayat 3 KUHAP menyatakan bahwa penilaian bukti petunjuk itu ada pada Hakim, penyidik tidak bisa berdasarkan CCTV, Hakim pun harus berdasarkan laboratorium forensik baru Hakim bisa pakai itu sebagai bukti petunjuk,” Imbuh Eddy.
Terkait asas hukum in dubio pro reo, dalam kaitan suatu perkara yang minim pembuktian dan terdapat saksi a decharge yang menjadi alibi terdakwa tidak berada ditempat kejadian perkara, Eddy Rifai menjelaskan,
“Pasal-pasal KUHAP tentang pembuktian dalam acara pemeriksaan, biasa diatur didalam pasal 183 sampai 202 KUHAP yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak Pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Menurut keyakinan tersebut seyogyanya keyakinan hakim harus sesuai asas hukum in dubio pro reo.” Jelas Eddy.
Ditambahkan juga, “Menurut kamus hukum yang ditulis oleh Simorangkir, frasa in dubio pro reo diartikan sebagai “Jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal, haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa” katanya.
Asas In dubio pro reo sendiri sudah sering digunakan oleh Mahkamah Agung untuk memutus perkara, diantaranya dalam putusan MA No. 33 k/MIL/2009 yang salah satu pertimbangannya menyebutkan bahwa  ” Asas In dubio pro reo yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan” Imbuhnya.
Pasal 191 KUHAP yang menyatakan “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang di dakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas” tambah Eddy Rifai.
Tentang seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, dengan ancaman pidana mati, atau pidana diatas 15 tahun yang ditangkap dan diadakan penyidikan terhadapnya, wajib didampingi Penasehat Hukum. Dan akibat hukumnya apabila proses penyidikan tanpa didampingi Penasehat Hukum menurut Eddy Rifai,
“Berdasarkan bunyi pasal 56 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana, yang diancam dengan pidana mati, atau ancaman pidana 15 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Oleh karena bunyi pasal 56 ayat (1) menyatakan WAJIB, maka tersangka wajib didampingi Penasehat Hukum sekalipun tersangka menolak penasehat hukum yang disediakan APH, pemeriksaan tersangka tidak dapat diterima” Terangnya.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 1565 k/Pid/1991 tertanggal 6 September 1993, yang pada pokoknya menyatakan, “Apabila syarat-syarat penyidikan tidak dipenuhi sepertinya penyidik tidak menunjuk penasehat hukum bagi terdakwa sejak awal penyidikan, maka tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima” Kata Eddy Rifai.
Ditempat yang sama Penasehat Hukum terdakwa Wahyu Widiyatmiko S.H., menjelaskan kepada awak media, pertanyaan terhadap saksi ahli adalah terkait dengan pasal 184 KUHAP, alat bukti, pasal 56 terkait pendampingan, wajib didampingi Penasehat Hukum, dan terkait dengan penyitaan barang bukti.
“Kenapa ini kita tanyakan kepada saksi ahli, karena pakta di persidangan bahwa satu alat bukti berupa motor tidak pernah dipergunakan oleh terdakwa Bakas Maulana untuk melakukan tindak pidana, dan menurut saksi ahli bahwa itu melanggar yang diatur dalam UU, bahwa penyidik tidak berhak untuk melakukan penyitaan” ujar Wahyu.
Selain itu menurut Wahyu, “Motor yang di sita oleh polisi itu, hingga saat ini tidak ada berita acara penyitaannya, atau tanda bukti penyitaannya.” Imbuhnya.
Wahyu pun menambahkan, “Terkait dengan CCTV, bahwa yang menyatakan  terdakwa Syahrial Aswad adalah pelaku,  adalah saksi dari keluarga korban bukan ahli dari forensik. Sedangkan  sesuai dengan UU ITE dan menurut ahli, keterangan tersebut tidak Syah karena bukan dari ahli forensik” Tandas Wahyu. | (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *