Catatan: Dr. Suriyanto Pd, SH, MH, M.Kn
Presiden Joko Widodo melontarkan pernyataan terkait Pemimpin Negara boleh berkampanye dan memihak asal tidak menggunakan fasilitas Negara. Hal itu disampaikan Jokowi di Pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024). Pernyataan KepalaNegara tersebut, sontak menuai reaksi dari berbagai Kalangan, baik di tingkat Elit, maupun Masyarakat.
Pernyataan Jokowi yang beredar di Media sosial yang menyatakan bahwa presiden dan Menteri-Menteri boleh mendukung Pasangan Capres dan Cawapres, asal tidak menggunakan pasilitas Negara, merupakan pernyataan Jokowi sangat aneh, dan tidak memahami tugasnya dalam menjalankan pemerintahan.
Berbagai fenomena tidak baik banyak terjadi di Pilpres 2024 ini, yang dinilai tidak memberi pelajaran baik terhadap Generasi Muda dalam berpolitik, berdemokrasi serta berbangsa dan bernegara. Indonesia sebagai negara besar ketiga yang menjalankan demokrasi juga dikenal sebagai bangsa yang berbudi luhur serta berbudaya dan beretika ini, harus digerus oleh kepentingan politik dinasti di Pilpres 2024 tersebut.
Dari mulai penyimpangan hukum konsitusi yang di lakukan MK, tentang perubahan pasal 169 huruf q yang bukan kewenangan nya untuk membuat norma baru pada UU, hingga pelanggaran KPU tentang pelaksanaan PKPU No 19 yang hingga kini masih berjalan gugatannya di PN Jakarta Pusat tentang pendaftaran Cawapres yang menggunakan putusan haram MK.
Aneh tapi nyata tapi tetap terjadi, hal yang disampaikan Jokowi yang hingga saat ini masih menjabat sebagai presiden sangatlah tidak etis, karena sepanjang sejarah reformasi hal semacam itu tidak pernah terjadi.
Jokowi seolah mencari pembenaran di semua sisi karena anaknya maju jadi Cawapres, harus nya jika ingin mendukung, Jokowi mundur dulu jadi Presiden juga para Pejabat yang cawe-cawe di Pilpres 2024 ini mundur tanpa terkecuali untuk kebaikan Bangsa ini.
Pernyataan ini mengabaikan prinsip dasar netralitas seorang Presiden dalam konteks pemilihan umum. Seorang presiden, sebagai Kepala Negara dan pemerintahan, harus mempertahankan posisi netral untuk menjamin bahwa proses pemilihan umum terlaksana dengan adil dan jujur. Keterlibatan presiden dalam kampanye politik, terlepas dari aturan yang diikuti, dapat menciptakan persepsi ketidak adilan dan mempengaruhi opini Publik, yang pada gilirannya dapat merusak kepercayaan terhadap proses Pemilu.
Pernyataan presiden tersebut mengesampingkan pentingnya presiden sebagai simbol persatuan dan stabilitas Nasional. Dalam menjalankan tugasnya, seorang Presiden harus memisahkan peran politik Pribadi dari tugas resminya sebagai Pemimpin Negara untuk menjaga integritas dan kestabilan sistem demokratis.
(Biro).